*Kuasa dalam Kelam*

Imam_Fardin

BIMA,KabaroposisiNTB.Com--Sang RATU mengeluarkan dekrit (uluran tangan, senyuman, bahasa lisan/tubuh) bukan tanpa tujuan, agar bagaimana semua orang dalam kuasanya segera merapat, berbaur, melebur menjadi pengikut yang terus mengakui kuasanya atas nama pengendali wilayah/daerah walau itu diketahui hanya sebatas simbolik, normatif, struktural sebagai alat hegemoni dan eksploitasi massal memperdagangkan pengaruh dengan dalih kemanusiaan. Ekspresi dari kekuasaan (keluarga keraton; konon katanya) dengan segala upaya laksana vaksin yang dikira menghidupkan, tapi justru mematikan. 

Mereka mengakuh diri atas nama kekuasaan hingga mereka berfikiran bahwa daerah bahkan dunia dianggap tertunduk bertekuk lutut dibawah tapak kaki mereka. Tidak ada yang dapat menentang, menolak, melawanya semua terakomodir atas kepentingan. Begitulah wajah kekuasaan istana.!!  Kesewenangan dari sang penguasa yang hendak menguasai penuh wilayah/daerah tak terpungkiri. Hanya kuasa Tuhan yang dapat membebaskan budak2 politik kekuasaan dan mendistribusi keadilan dengan hidup penuh toleran serta berada di atas kedudukan yang sama tanpa pemetaan kelas sosial dan tanpa  mementingkan hak hak protokoler.

Orang2 berduyun serempak bergerak ke daerah asal mereka membawa semua yang mereka miliki sebagai bekal hidup dan kehidupan. Sebab semuaya dapat mereka klaim, semua yang selama ini menjadi ciri khas, identitas, hak milik dapat diubah dan diambil alih melalui kompromistis. 
Daerah kecil (Bima) menjadi penuh problema dan penyakit sosial yang kadang2 buat daerah sesak, melarat dan sengsara bahkan kehilangan orientasi, kehilangan arah, marwah dan jati dirinya akibat ketidak piwaian sang Koda dalam menjaga ketahanan wilayah secara sistemik. Daerah dipenuhi oleh wajah asing yang seram dan menakutkan, berjejal diatas kenikmatan duniawi. Daerah kecil tempat berkumpulnya para elit, sosialita, cukong, menari diatas penghidupan budaya2 baru, menepi/mengucilkan/mengekang/membunuh keadaban dan karakter kebudayaan warisan leluhur. Bima seketika menjadi kehilangan jati diri sebagai sebuah daerah, kehilangan identitas, krisis ketauladanan dan kesadaran. Pribumi terlunta-lunta menatap menyaksikan dinamika daerah dengan tatapan kosong, hening, hampa dan kelam.

Kekuasaan begitu menggoda, menyebabkan manusia sejenak lupa siapa dirinya, darimana ia mendapatkan kuasa dan untuk apa kuasa itu dimiliki. Kekuasaan pastinya membutakan mereka yang sejak awal telah picek mata hatinya, lumpuh mata bathinya dan miskin mata rohaninya. Kekuasaan telah membuat mereka berdiri kokoh dalam impotensi kesombongan, sikap pongah, rakus, tamak dan zolim. Kekuasaan juga turut menyumbang kemerosotan akaliah, terdistorsinya perasaan kemanusiaan serta matinya kepekaan untuk melihat mereka yang lain sebagai manusia seutuhnya.

Kemanusiaan tiba tiba berubah hanya oleh karena label siapa aku dan siapa kamu. Tidak ada lagi empati ketika kemanusiaan tidak dilihat sebagai sesama hamba. Tidak ada lagi toleransi dan bela rasa saat kemanusiaan tidak dicintai dalam kodratnya sebagai ciptaan pemelihara kehidupan. Tidak ada lagi kasih sayang sebagai pemersatu saat kemanusiaan tidak dihormati dalam naturnya sebagai kesempurnaan maha karya Tuhan. 

Hingga Tuhan turun tangan, Dipakainya kuasa yang Ia pinjamkan untuk membuat dua insan baik Laki maupun Perempuan berjalan menembus hari, siang dan malam untuk bersama bergandengan tangan, sebagai sesama atas nama hamba, berangkul erat sebagai pemelihara kehidupan, berjuang bersama sebagai alat menyempurnakan kehadiranya. Dari situlah kita harus belajar melihat bahwa kehidupan akan terus berjalan sambil membuka mata lebar2 untuk melihat apa yang Tuhan terangkan supaya manusia mengfungsikan Akal dengan baik agar kembali kepadanya dengan utuh dan sempurna.(KO.O6)

No comments

Powered by Blogger.