Hati - hati Dampak Buruk Politik Dinasti
BIMA,Kabaroposisi--Istilah dinasti merujuk pada sistem kekuasaan primitif yang mengandalkan keturunan dari sekelompok orang atau keluarga. Sistem dinasti adalah satu keniscayaan dalam sebuah kerajaan ataupun “Monarki Absolut”.
Politik dinasti berpotensi besar merusak dan mematikan Demokrasi. Sebab, keberadaan politik dinasti kerap dibarengi terjadinya tindak pelanggaran korupsi. Salah satunya mengancam eksistensi demokrasi.
Hampir semua kalangan masyarakat sudah bisa dipastikan tidak setuju dengan politik dinasti. Karena hal itu dianggap sesuatu yang turun menurun dan seringkali digunakan untuk sesuatu yang buruk, oleh bapak atau anaknya, istri atau suaminya, dan kakak atau adiknya.
Politik dinasti, secara prinsipil memang tidak bermasalah dan tidak melanggar konstitusi. Justru jika UU Pemilihan Kepala Daerah Pasa 7-r tersebut dilakukan, akan membatasi hak setiap warga negara untuk dipilih dan memilih yang itu dijamin oleh UUD.
Namun, di daerah Kabupaten Bima lingkaran kekuasaan seringkali melahirkan pula lingkaran korupsi dan praktik nepotisme. Selain itu, politik dinasti juga akan memperbesar munculnya kepala daerah-kepala daerah yang tidak berkompeten.
Dampak negatif politik dinasti harusnya dapat diredam melalui peran partai politik. Munculnya politik dinasti tidak lain karena oligarki partai politik. Sistem seleksi yang ketat dan berorientasi pada kualitas bakal calon harus ditekankan pada setiap partai politik yang ikut berkonstelasi. Partai politik harus merekrut kepala daerah berdasarkan visi, misi dan gagasannya untuk perubahan, bukan semata-mata karena elektabilitas dan popularitas.
Dengan proses seleksi yang baik yang dilakukan oleh partai politik, tidak akan menjadi masalah meskipun kepala daerah yang terpilih adalah keluarga atau kerabat petahana karena memang telah teruji kelayakannya.
Setidaknya ada tiga dampak negatif dari praktik politik dinasti:
1. Politik dinasti akan menghambat fungsi ideal partai poitik. Calon yang dilipih bukan calon yang telah terseleksi dan melalui proses kaderisasi, melainkan hanya berdasarkan popularitas dan kekerabatan dengan petahana.
2. Tertutupnya kesempatan bagi masyarakat yang memiliki kapasitas dan keunggulan untuk tampil sebagai pemimpin karena bukan berasal dari lingkaran elite kekuasaan. Jika hal ini terjadi, akan muncul potensi terjadinya negosiasi dan konspirasi kepentingan dalam pelaksanaan tugas pemerintah.
3. Sulitnya mencapai “clean and good governance” karena fungsi kontrol melemah dan semakin tingginya potensi korupsi, kolusi dan nepotisme. Politik dinasti, dapat membuat orang yang tidak berkompeten menduduki suatu jabatan, dan juga sebaliknya, menghalangi seseorang yang berkompeten untuk tampil menjadi abdi masyarakat.
Di luar dampak negatif yang disampaikan di atas, politik dinasti sekali lagi memang bukan sesuatu yang dilarang , sebaiknya bukan dengan melarang masyarakat untuk memilih pemimpin yang masih berkerabat dengan petahana.
Tetapi, mengembalikan pertimbangan pemilihan calon berdasarkan kualitas dan kapasitas individu, karena tidak menutup kemungkinan calon yang berasal dari dinasti politik tertentu memang lebih baik dari pada calon lain karena mengalami proses kaderisasi yang lebih matang dan intensif. Dan jika calon yang dimaksud hanya mengandalkan popularitas dan jejaring politik yang terbentuk dalam suatu dinasti, maka masyarakat perlu berpikir ulang. (RED)
Jakarta, 03, November 2019
Ditulis Oleh: Muh. Fiqriawansyah (Donggo
No comments