Meramal Pilkada Bima, Yandi akan Kalah?

Keterangan foto: Ketua Persatuan Alumni GMNI NTB Ashar S Yaman. 


Bima, KabaroposisiNTB. CoM_ Pilkada Bima dalam sejarahnya bukan hanya cerita tentang panas dan kerasnya suksesi tetapi adalah soal gesekan 2 (dua) blok besar kolam politik tradisonal vs religius, bertarungnya simbol-simbol politik, simbol raja dan simbol budaya rakyat, jika merujuk 4 (empat)  pemilukada terahkir 2 (dua) kali istana melawan H.Zainul Arifin, 2 (dua) kali melawan H.Syafruddin H.M Noer, melelahkan berbiaya mahal dan tentu dengan jejak luka politik yang tidak pernah sembuh.


Konseskwensi politik dari demokrasi prosedural berbiaya mahal tentu mengorbankan rakyat sebagai objek kebijakan, menguatnya kelompok anti establishment lewat demonstrasi,boikot jalan, protes sosial, yang akan terus mengganggu jalannya Pembangunan daerah, sehingga pemerintahan tidak bisa berjalan efektif dan efisien.


Merujuk data pemilukada kabupaten Bima Istana dalam hal ini Golkar bisa mengakapitalisasi kepercayaan pemilih diangka 41-43%, kluster pemilih ini kemudian disebut pemilih tradisional, sementara lawan istana diangka 60-57% pemilih religius, artinya secara politik koalisi istana (Golkar) bisa dikalahkan, tentu dengan modal menang 4 (empat) kali pemilu kada Golkar bisa tepak dada bahwa mereka akan kembali menang dipemilukada 2024. Dengan modal 9 kursi Golkar tidak perlu koalisi dapat mengusung calon sendiri apalagi dengan kekuasaan mereka bisa mengkapitalisasi kekuatan rezim Birokrasi dan Sektor formal, tetapi politik tetaplah politik yang rumusnya cair dan dinamis, tidak ada yang bisa memprediski perubahan politik apakah ia berjalan stagnan atau akan mengalami turbulensi yang masive seperti pemilu langsung Pebruari kemarin. 


Kesombongan naratif melawan peti kosong atau pasangan dengan sandal jepit Yandi menang, anggap saja ini sebagai propaganda untuk membangun citra bahwa Yandi itu superior bahwa istana itu wakil Tuhan dibumi untuk memimpin Bima atau bisa jadi untuk menutupi kekurangan kapasitas Yandi sebagai calon kepala Daerah.


Regim Istana dan Golkar sudah 20 tahun, regim yang tua dan kelelahan jangan dikira Solid, ia keropos didalam, ia memiliki banyak faksi, banyak friksi politik internal yang akan melemahkan daya gempur politik dan daya focus pada tujuan, kondisi ini menjelaskan bahwa istana bisa dikalahkan hanya dengan 2 (dua) poros pemilukada atau 3 (tiga) poros sekalipun, lalu bagaimana  cara Istana agar tetap bisa berkuasa ??


Istana Menyusun 3 (tiga) skenario pilkada dengan 3 (tiga) paket paslonkada, skenario pertama; membentuk politik Kolaboratif Dinda dan H.Syafru menjadi King Maker, menduetkan Yandi-Man sebagai pasangan dalam pemilukada, dengan paket ini Istana akan mengikuti pemilukada mudah dan murah, Jika pemilukada diikuti oleh 3 (tiga)  paslon dengan asumsi Maman dan Mahdalena maju sebagai calon Bupati. 

Scenario kedua; Istana tetap dengan prinsip prudensialisme memasangkan Yandi dengan birokrat berusia uzur bukan kader partai politik dan tidak berpotensi mengganggu Yandi dipemilukada berikutnya, skenario ketiga; soal strategi taktik apa yang akan dimainkan Ketika lawan dalam pemilukada Maman-Man atau Mahdelana-Man.


Politik terus bergerak dinamis, perubahan aturan pemilu bahwa calon DPR terpilih dalam pemilu 2024 tidak perlu mundur, mau tidak mau, suka tidak suka PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) akan mengusung kadernya Mahdalena masuk gelanggang calon Kepala Daerah, siapa tidak kenal Mahdalena sebagai seorang Fighter, ratu elektoral, magnet baru dalam politik elektoral Bima. Mahdalena adalah ancaman yang nyata bagi keberlanjutan kekuasaan Istana!!! 


Peta politik kebudayaan Bima dibagi menjadi 3 zona tempur yang hampir imbang berdasarkan DPT (daftar pemilih tetap) zona tempur dalam pertarungan politik berdasarkan Sejarah, karakter dan keberpihakan wilayah dibagi dalam 3 (tiga)  zonasi besar politik , pertama zona SILA 6 (enam) Kecamatan (Bolo,Madapangga, donggo,Soromandi, Sanggar, Tambora), kedua ;  zona KAE 5 (lima) Kecamatan   (Woha, Monta, Parado, Belo, Palibelo), ketiga zona Sape 7(tujuh) Kecamatan ( Sape,Lambu,Wera,Ambalawi,Wawo, Lambitu,Langgudu), dari zona tempur secara keberpihakan wilayah, Sape ada Maman, Kae ada Mahdalena, Sila ada Ramat Saputra (Man), praktis kekuatan Istana hanya bertumpu  pada birokrasi dan sektor formal, ingat Birokrat adalah rezim politik opurtunis, mereka akan memihak siapa yang menang, birokrat akan bermain 2 atau 3 kaki, birokrat juga punya ego dan sentiment wilayah. 


Apakah Pemilukada 2024 akan menjadi kuburan bagi keluarga sultan Bima? Jawabannya, Yes jika istana masih bertahan dengan cara lama, main aman asal tidak mengganggu istana (wakil bupati dari pensiunan birokrat uzur), Apakah istana akan merubah setting politik yang sudah jadi pakem? Jawabannya yes jika pasangan Patul bahri-Dinda berkoalisi dalam Pilgub (pemilihan Gubernur) NTB, jika pasangan Patul-Dinda jadi berpasangan praktis pilkada Bima isatana akan mengambil wakil bupati berpasangan dengan Dinda dengan 2 kategori, mesin elektoral sekaligus dengan isi tas penuh.


Publik akan bertanya tentang kapasitas Yandi sebagai calon kepala daerah, sudah menjadi rahasia umum Yandi tidak memiliki cukup kapasitas sebagai Calon kepala daerah, satu-satunya modal Yandi dia pemimpin yang “dilahirkan”, ia akan dihadirkan sebagai anak dari Fery Zulkarnaen dan Indah Damayanti Putri, bukan sebagai Yandi yang otentik sebagai yang “akan memimpin” Bima, sedapat mungkin istana dan Golkar akan menutupi kelemahan Yandi sebagai yang tidak memiliki “Kapasitas” kondisi ini akan menjadikan pemilukada tetap berbiaya mahal, istana  tidak punya banyak opsi siapa calon wakilnya Yandi, tentu saja siapa yang punya “Uang” 


Mungkin menyebut “uang” terlalu eksplisit tabu untuk diucapkan sebagai gimmick politik, tetapi fakta lapangan jika merujuk pemilu pebruari kemarin, uang adalah penentu Keputusan politik massa. Tulisan ini hanyalah terawangan politik bukan kebenaran politik, semoga pembaca bisa memotret dinamika politik elit dalam setting paslon kada yang akan memimpin Bima 2024-2029.(Red) 

No comments

Powered by Blogger.